"Kawula" adalah jasad manusia, sedangkan "gusti" adalah raja dari jasad manusia, yaitu nafs atau jiwa (ingat: nafs di sini bukan hawa nafsu). "Manunggaling kawula lan gusti", adalah menyatunya keinginan jasad dengan keinginan nafs atau jiwa. Ini sering juga disebut sebagai "pernikahan" (antara jasad dengan nafs)
Jika jasad adalah kuda dan nafs adalah penunggangnya, maka ketika kuda dan penunggangnya sudah "manunggal", bererti kuda sudah tunduk dan patuh kepada penunggangnya. Bukan lagi kuda liar yang mempunyai kehendak semaunya.
Namun kebanyakan manusia itu nafs-nya mati, atau seperti kuda yang tidak memiliki penunggang sehingga bebas lari ke sana ke mari. Dalam tataran jasad, larinya jasad sesuka hati berasal dari dorongan syahwat dan hawa nafsu. Ini adalah kawula yang belum manunggal dengan gusti. Dan ini adalah kebanyakan dari kita.
Setelah jasad dan nafs menyatu, maka yang menjadi "kawula" adalah 'pernikahan antara jasad dan jiwa' tadi, sedang gustinya adalah Ruh Al-Amin. Maka, penyatuan tahap berikutnya adalah antara "kawula" ('pernikahan' jasad dan jiwa) dengan Ruh Al-Amin. Inilah yang disebut sebagai ma'rifat. Tahap penyatuan awal antara jasad dan nafs itu baru setengah dari agama, kerana, seperti kata Imam Ali bin Abi Thalib: "Awal Ad-Diin (agama) itu adalah ma'rifatullah."
Kerananya, melihat paparan di atas, setidaknya Anda boleh mengerti salah satu makna atau hikmah dari hadis berikut: Dari Anas bin Malik r.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw: “Jika seorang hamba menikah, bermakna dia telah menyempurnakan setengah agamanya, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya.” (HR. Baihaqi)
Wallahu 'alam bishawwab
No comments:
Post a Comment