Sejarahwan
Thomas Carlyle menganggap Muhammad adalah salah satu pahlawan terhebat di dunia bahkan dia pun menyebut Al-Quran
"Bacaan berat yang pernah saya baca, tulisan campur aduk yang melelahkan."
Persoalan UMUM
SEMOGA Allah selalu memberi keselamatan bagi kita semua. Bolehkah beri petunjuk kepada saya kenapa ayat-ayat dalam Al-Quran tidak tersusun secara sistematik? Adakalanya ditemukan dengan pokok bahasan yang melompat-lompat dalam satu surah.
Bagaimana cara meraih makna dari kitab suci ini dengan baik sehingga boleh diamalkan dalam kehidupan kita? Apakah ada keperluannya jika kita mampu berbahasa arab dalam mempelajari Al -Quran?
Jawapan
Bacaan kita dianggap “sistematik” (logik, rasional, masuk akal, dan lain-lain) kalau bacaan itu masuk, fit, sesuai, muat dengan “skema” fakulti fikiran kita.
Padahal, “bacaan” kita yang satu ini (al-Qur’an) justru bertujuan “mentransformasi” skema fakulti fikiran kita itu (bahkan seluruh fakulti kendiri kita).
Kalau kita baca sesuatu yang “sistematik” (yang nyaman masuk selera skema fikir kita), secara praktik kita takkan belajar apapun dari bacaan itu (jangankan ter-transformasi oleh bacaan itu).
Contoh, saya lancar dan nyaman baca buku-buku kebanyakan yang ada dipasaran, saya sudah biasa dengan alur fikir buku itu, jalan fikir argumen buku itu muat dengan skema fikir saya: maka secara praktik, saya tidak belajar apapun (yang baru, mendasar, ground-breaking, transforming knowledge) dari buku itu.
Kalau pun saya “merasa” belajar dan dapat sesuatu dari buku itu, itu sekadar ilusi, justifikasi, amplifikasi dari skema kerdil fikiran saya yang itu-itu saja, yang tak dapat pelajaran APAPUN dari buku itu.
Jadi, kembali ke laptop, tentang apa yang salah dengan al-Qur’an; yang salah adalah gagasan kita tentang yang “sistematik”, logik, masuk akal, dan lain-lain itu.
Allah mengHENDAKI menciptakan akal baru dalam diri kita, kalau dipaksa, supaya ia masuk akal sempit fikiran kita.
Kemampuan berbahasa ‘arab, dari sisi teknik tentu boleh dianggap membantu kalau itu yang diperlukan. Tapi pada prinsipnya, kita memahami al-Qur’an sejauh diri kita berhasil ditransformasi secara lahir dan batin olehnya. Lihat sekeliling ramai orang yang mampu berbahasa ‘arab tapi kenyataannya al-Qur’an sama sekali tidak mentransformasi dirinya, dan begitu banyak hal-hal dalam al-Qur’an yang belum mampu dia fahami.
Kesimpulan
Hal yang terpenting adalah, bahwa kita mulai jujur pada diri kita sendiri dalam beragama ini. Kita berhenti mengindoktrinasi diri bahwa kita memahami Qur’an, bahwa Qur’an adalah kitab teragung, bahwa Qur’an mencakup jawaban bumi dan langit, dan sebagainya. Hal itu memang benar, tapi ‘dari sisi mana?’YA kita sama sekali tidak faham.
dikupas dari sdr Alfathri Adlin