Sunday, May 25

SAMBUTAN ISRA' MI'RAJ RASULULLAH MUHAMMAD SAW

Ketika Sang Kekasih menjadi sahabat, tempat manapun menjadi "bagaikan di langit;" dan bukan "terbenam ke bumi."



Sang Nabi SAW, berkata, "Jangan menyangka mi'raj-ku lebih unggul daripada apa yang terjadi pada Yunus; aku diangkat ke langit; dia ditenggelamkan ke dalam perut paus; kedekatan pada al-Haqq itu di luar perhitungan."

Kedekatan itu bukan soal naik atau turun: kedekatan pada al-Haqq itu ertinya keMERDEKAan dari penjara keberadaan.

Tiada tempat bagi gerak "ke atas" atau "ke bawah" dalam ketiadaan. Ketiadaan tak mengenal "nanti," "jauh," atau "terlambat." Sumber ilmu dan khazanah al-Haqq berada di ketiadaan. Kerana keberadaan ini saja telah menipumu, bagaimana mungkin kau fahami apa itu ketiadaan? Kekurangan adalah bahagian dunia yang telah ditentukan bagi sang Nabi saw, kefakiran dan kerendahan adalah kebanggaan dan kemuliaannya.

(Maulana Jalaluddin Rumi)

Nuh: Jangan lakukan itu anakku sayang



Kanaan tengah berenang di laut sambil berkata: "Tidak, aku tak perlukan kapal dari musuhku Nuh."
"Ayuhlah kemari!" teriak Nuh, "Duduklah di kapal bapakmu, anak bodoh, agar engkau tak tenggelam di lautan."

"Tidak!" jawab Kanaan, "Aku telah belajar berenang. Aku telah menyalakan lilin lain selain lilinmu."

"Berhati-hatilah, jangan lakukan hal ini! Ombak yang datang hari ini akan membawa banjir besar. Tangan, kaki dan kemampuan berenang tak akan ada ertinya hari ini. Ini adalah bencana dari kemarahan-Nya, sebuah goncangan yang akan memadamkan semua lilin. Hanya lilin-Nya-lah yang akan bertahan abadi."

"Tidak!" jawab Kanaan, "Aku akan pergi ke gunung yang tinggi. Ia akan melindungiku dari segala bahaya."

"Berhati-hatilah, jangan lakukan hal itu! Gunung itu saat ini hanyalah bagaikan jerami. Tuhan hanya akan melindungi orang-orang yang dicintai-Nya."

"Sejak bilakah aku pernah mendengarkan nasihatmu, hingga engkau begitu yakin kali ini aku akan mendengarkanmu?" tanya Kanaan, "Kata-katamu tak pernah aku hiraukan. Aku berlepas darimu, dari hari ini dan hari yang akan datang."

"Berhati-hatilah, jangan lakukan itu anakku sayang. Ini bukanlah harinya untuk bersikap acuh. Tuhan tidaklah berkeluarga, Dia pun tak mempunyai pasangan. Hingga hari ini engkau selalu bersikap tak peduli; tapi hari ini adalah hari di mana Allah tak peduli. Keacuhan siapakah yang dapat memecahkan kedinginan dalam pengadilan Allah? Dalam keabadian Dia tak berawal; Dia tak berayah, tak beranak dan tak berpaman. Lalu bagaimana mungkin Ia akan menderita karena keacuhan seorang anak? 

Bagaimana Ia akan mendengarkan keacuhan seorang Ayah? ‘Aku tak berawal’ sabda Allah. 'Hai orang tua, janganlah berbangga. Karena Aku adalah Yang Tak Berawal; hai anak muda, janganlah berjalan dengan sombong. Aku bukanlah seorang suami, kerana hasrat tak ada dalam Diriku; hai wanita buanglah segala keacuhan.’ Dalam hadirat-Ku tak ada yang berharga selain rasa rendah hati, penghambaan dan penyerahan diri.’"

"Engkau telah mengatakan hal ini selama bertahun-tahun Ayahku," kata Kanaan, "Dan kini engkau mengulanginya lagi. Engkau telah gila dan hilang akal. Engkau telah mengatakan hal yang sama pada ramai orang, dan engkau telah menerima banyak jawapan yang menyakitkan hati! Tapi kata-katamu yang sakit itu tak pernah memasuki telingaku, apatah lagi sekarang, saat aku telah menjadi orang yang bijak dan berkuasa."

"Apa ruginya bagimu, anakku, jika kali ini engkau mengikuti nasihat ayahmu?"

Nabi Nuh terus saja menasihati anaknya dengan lembut, yang selalu ditolak anaknya dengan kata-kata yang kasar. Sang ayah terus saja menasihati anaknya tanpa lelah; tapi tak satupun yang masuk ke telinganya. Saat mereka sedang berdebat, tiba-tiba datanglah sebuah ombak besar yang menghempas Kanaan dan menghancurkan kepalanya hingga berkeping-keping.

"Wahai raja segala raja," ratap nabi Nuh, "Keledaiku telah mati, dan air-Mu telah menghempas semua hartaku. Bukankah Engkau telah berjanji padaku bahwa 'Keluargamu akan terselamatkan dari banjir ini.’ Aku adalah orang yang sederhana, dan aku telah meletakkan harapanku pada janji-Mu; lalu mengapa kini bencana-Mu merampas apa yang kumiliki?"

Tuhan berfirman, "Dia bukanlah keluarga dan saudaramu. Tak lihatkah engkau bahwa warnamu putih dan dia biru?"

"Aku tak mempunyai apa pun," kata Nuh, "selain dari esensi-Mu. Orang yang telah mati di dalam-Mu sesunguhnya adalah Diri-Mu sendiri. Dan Engkau mengetahui keadaan diriku terhadap-Mu: dua puluh kali lebih memerlukan-Mu daripada padang rumput yang memerlukan hujan, aku hidup melalui-Mu, bergembira melalui-Mu, seorang miskin yang diberi makan tanpa perantara, tak tersatukan dan tak terpisahkan--wahai Yang Maha Sempurna--tanpa kualiti, tanpa penjabaran dan tanpa penyebab. Kami adalah ikan dan Engkau adalah Lautan kehidupan; dengan kurnia-Mu Kami hidup wahai Tuhan yang mempunyai Asma-asma Yang Agung. Wahai Tuhan Yang Karya-Nya tak terfikirkan oleh siapa pun; Tuhan yang berkarya tanpa penyebab. Sebelum dan sesudah banjir ini, aku menyerahkan hidupku dalam keadaan apa pun pada-Nya; dengan-Mu-lah aku pernah bercakap-cakap, bukan dengan manusia, wahai yang menciptakan percakapan dahulu dan yang akan datang. Bukankah seorang pencinta selalu terikat pada reruntuhan rumah kekasihnya? Dari luar ia tampak mengacuhkan bangunan roboh itu; tetapi kepada siapakah ia selalu melantunkan puji-pujiannya? Puji syukur ke hadirat-Mu, yang telah menghancurkan segala perantara dari kejahatan, kerana perantara itulah yang membawa kejahatan, bersuara bagaikan ratapan atau gaung. Aku menganggap kehancuran semacam itu bagaikan sebuah jawapan balik, bagaikan gunung, dengan gaungnyalah aku dapat mendengar nama-Mu lebih keras, kerana aku telah jatuh hati dengan nama-nama-Mu yang menyegarkan jiwa. Dengan alasan itu pulalah setiap nabi sangat mencintai gunung-gunung, agar dapat mendengar nama-Mu lebih keras; tetapi di setiap lembah dari gunung-gunung itu hanya dapat memuat seekor tikus, bukan manusia, sebagai tempat berhenti. Kerana ketika aku berbicara tak ada yang menyahut, dan napas dari suaraku tak menghasilkan gaung. Tinggalkanlah ia di bumi; jangan tercampurkan; remukkanlah ia dibawah kakimu!"

Tuhan berkata, "Hai Nuh, jika engkau mahu, Aku akan meremukkan mereka semua dan membangkitkannya dalam debu. Aku tak ingin hatimu terluka dek Kanaan, tetapi aku sedang menunjukkan padamu kedudukan jiwa mereka yang sebenarnya."

"Tidak, tidak," tangis Nuh, "Aku mengetahui bahwa Engkau seharusnya juga menenggelamkanku jika Engkau menghendaki. Setiap detik dari tenggelamnya diriku adalah kebahagiaan bagiku. Perintah-Mu adalah jiwaku; dan kuhargai seperti hidupku sendiri. Aku tak melihat pada manusia lain; kerana aku menganggapnya sebagai perwujudan dari diri-Mu, tetapi Engkaulah yang menjadi perhatian utamaku. Dalam keadaan susah dan senang aku jatuh cinta pada karya-Mu; bagaimana aku dapat bertindak bagaikan seorang bodoh yang mencintai sesuatu yang lain yang sebenarnya tak ada?"

Berbahagialah orang yang di mabuk cinta dengan karya-karya-Nya ; seorang kafir adalah mereka yang mabuk cinta oleh sesuatu yang sebenarnya tak ada.

(Maulana Jalaludin Rumi)